-->

Intelektual Sebagai Obor Di Tengah Kegelapan

Editor: AgioDeli.id author photo
Foto: Istimewa


Agiodeli.id - Menjadi intelektual bukanlah sekadar menimbun pengetahuan atau mengutip teori-teori klasik. Ia bukan pula predikat kosong yang dilekatkan pada ijazah atau gelar akademik. Seorang intelektual sejati dituntut untuk menghadirkan cahaya di tengah kegelapan: mengurai kebuntuan, membangkitkan kesadaran, dan memberi arah moral ketika masyarakat kehilangan kompas.


Kegelapan itu sendiri bukanlah sekadar ketidaktahuan. Ia juga hadir dalam bentuk krisis integritas, erosi nilai, serta normalisasi penyimpangan. Indonesia hari ini, misalnya, menghadapi kegelapan berupa indeks persepsi korupsi yang stagnan di angka 34 (Transparency International, 2024), angka kemiskinan ekstrem yang masih mencapai 5,17 juta jiwa (BPS, 2024), dan demokrasi yang terus merosot dengan skor hanya 6,71 (Economist Intelligence Unit, 2024). Dalam lanskap semacam ini, kehadiran intelektual bukan pilihan, melainkan kebutuhan.


Sayangnya, banyak dari mereka yang bersembunyi di balik kenyamanan status quo. Sebagian besar kampus justru melahirkan teknokrat patuh, bukan intelektual pemberontak. Alih-alih menjadi obor, mereka puas menjadi cermin buram yang hanya memantulkan cahaya dari luar tanpa pernah menyalakan api sendiri. Padahal, sebagaimana pernah diingatkan Antonio Gramsci, intelektual organik harus berpihak pada rakyat dan memberi artikulasi bagi suara yang dibungkam.


Obor pengetahuan tidak akan berarti bila hanya berputar di ruang seminar atau jurnal ilmiah. Ia baru menemukan makna ketika turun ke jalan realitas: ke desa-desa yang masih terbelenggu buta huruf, ke ruang publik yang diracuni disinformasi, hingga ke ruang kebijakan yang kerap tersandera kepentingan oligarki. Intelektual sejati tidak berhenti pada retorika, tetapi menghadirkan gagasan yang konkret dan dapat diakses masyarakat luas.


Tentu jalan ini penuh risiko. Mereka yang menyalakan obor di tengah gelap sering kali ditolak, dicemooh, bahkan dimusuhi. Sejarah Indonesia merekam nama-nama seperti Tan Malaka, Sutan Sjahrir, hingga Soe Hok Gie—tokoh yang menanggung kesepian dan ancaman demi konsistensi pada kebenaran. Namun, justru karena keberanian itulah obor mereka terus menyala, bahkan jauh setelah fisik mereka sirna.


Kegelapan zaman juga semakin pekat dengan hadirnya arus digital. Masyarakat dicekoki banjir informasi, tetapi sering kehilangan kemampuan memilah mana pengetahuan, mana propaganda. Riset Katadata Insight Center (2023) menunjukkan 61,6 persen masyarakat Indonesia kesulitan membedakan berita hoaks di media sosial. Dalam kondisi seperti ini, intelektual dituntut hadir sebagai penjaga rasionalitas, bukan sekadar penyampai opini dangkal.


Lebih jauh, intelektual sejati harus berani mengoreksi dirinya sendiri. Sebab, tidak sedikit dari mereka yang terjebak dalam lingkaran kekuasaan, menjadi alat legitimasi kebijakan yang justru menindas rakyat. Data Kemenristekdikti (2023) mencatat 75 kasus plagiarisme dan manipulasi riset di lingkungan kampus dalam lima tahun terakhir—suatu bukti bahwa kegelapan juga bisa bersarang di menara gading.


Di sinilah ujian moral seorang intelektual. Apakah ia berani tetap berpihak pada kebenaran meski berisiko kehilangan jabatan, akses, atau bahkan keselamatan? Ataukah ia memilih jalan aman dengan menyalakan obor kecil hanya untuk dirinya sendiri, sementara masyarakat dibiarkan tenggelam dalam kegelapan? Pertanyaan ini menjadi refleksi bagi setiap akademisi dan cendekiawan di negeri ini.


Obor intelektual sejati bukanlah api yang menghanguskan, melainkan cahaya yang memberi arah. Ia menyalakan keberanian orang lain, menumbuhkan harapan, dan membangkitkan kesadaran kolektif. Sejarah membuktikan, setiap perubahan besar selalu berawal dari keberanian segelintir orang untuk berpikir berbeda dan bertindak melawan arus.


Ambil contoh gerakan reformasi 1998. Ia tidak lahir dari elite politik semata, melainkan dari keberanian mahasiswa, dosen, dan aktivis yang berani menyalakan obor perlawanan di tengah represifnya rezim Orde Baru. Data LBH Jakarta mencatat lebih dari 1.200 kasus penangkapan aktivis sepanjang 1997–1998, namun api perlawanan tetap menyala dan akhirnya mengguncang kursi kekuasaan.


Kini, lebih dari dua dekade reformasi, tantangan berbeda menanti. Oligarki politik, polarisasi identitas, hingga degradasi lingkungan menuntut intelektual untuk kembali mengambil posisi. Menjadi obor bukan hanya dengan kritik, tetapi juga dengan solusi: menawarkan alternatif kebijakan berbasis data, mendorong reformasi institusi, hingga menciptakan teknologi yang membebaskan, bukan memperbudak.


Sebab, masyarakat tidak membutuhkan lebih banyak pengulang teori, tetapi pencipta gagasan. Dunia digital yang penuh ilusi menuntut kehadiran intelektual yang mampu menghidupkan nalar kritis, menegakkan moralitas, dan menghubungkan ilmu dengan keberpihakan sosial. Hanya dengan cara itu, pengetahuan tidak berhenti sebagai abstraksi, tetapi menjelma sebagai energi perubahan.


Maka, menjadi intelektual sejati adalah panggilan moral. Ia bukan soal status atau gelar, melainkan tanggung jawab untuk terus menyalakan cahaya di tengah kegelapan. Bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk masyarakat yang sedang mencari arah. Dalam setiap obor yang menyala, tersimpan harapan bahwa gelap tidak akan selamanya berkuasa.


Sejarah bangsa ini masih menunggu para intelektual yang berani mengambil risiko. Obor kecil yang dinyalakan hari ini bisa menjadi cahaya besar esok hari. Tugasnya hanya satu: jangan biarkan kegelapan menang.


Penulis: Adv.M.Taufik Umar Dani Harahap,S.H

Share:
Komentar

Berita Terkini

 
Desain: indotema.com