Oleh: Indra Gunawan *)
NYINYIR, sebagaimana defenisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah kata yang memiliki arti mengulang-ulang perintah atau permintaan. Tetapi, dalam konteks kekinian yang dapat dikaji berdasarkan lalulintas percakapan pengguna media sosial (medsos), nyinyir menjadi predikat bagi orang yang suka mengkritik atau menyindir orang lain secara terus-menerus, pedas, dan frontal.
Yang pasti, kata nyinyir menunjukkan adanya aktivitas
melontarkan kata atau kalimat bertendensi negatif yang berlulang-ulang, baik
lisan maupun dengan tulisan. Jika hanya sesekali, tentu bukan nyinyir namanya.
Siapa yang nyinyir?
Meski tak menyematkan nama, taklah pula dapat disangkal kalau judul di atas menjurus pada sosok yang kini memimpin Provinsi Sumatera Utara. Ya, dialah Gubernur Sumatera Utara (Gubsu) Edy Rahmayadi.
Mandat Pelayanan
Mengusung tagline “Sumut Bermartabat”, Edy Rahmayadi
memenangi Pemilihan Gubernur Sumatera Utara (Pilgubsu) pada 27 Juni 2018. Berkontestasi
sebagai calon dari Partai Golkar, Gerindra, Hanura, PKS, PAN dan Nasdem, perolehan
mantan Panglima Kostrad ini mengalahkan perolehan suara mantan Gubernur DKI,
Djarot Saiful Hidayat yang diusung PDI Perjuangan dan PPP.
Berdasarkan informasi dari laman https://id.wikipedia.org, Pilgubsu 2018
diikuti 5.286.060 (63,31%) penduduk Sumut dari 8.350.036 jiwa yang masuk dalam
daftar pemilih tetap (DPT). Edy Rahmayadi menang dengan perolehan 3.291.137
suara (57,58%). Sedangkan Djarot hanya memperoleh 2.424.960 suara (42,42%).
Hitung-hitungan yang kemudian menjadi ketetapan Komisi
Pemilihan Umum (KPU) itu sejatinya hanya berlaku saat pemilihan. Setelah ditetapkan
dan dilantik sebagai Gubsu sejak 5 September 2018 hingga 4 September 2023, Edy
Rahmayadi adalah pemimpin bagi seluruh penduduk Sumatera Utara, tanpa
terkecuali.
Tanpa syarat pula, hingga masa jabatannya berakhir, Edy
berkewajiban membawa pembangunan Sumatera Utara di segala lini ke arah lebih
baik, untuk satu tujuan: melayani masyarakat selaku pemberi mandat, sesuai
amanat UU No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Sebagai pelayan, konsekuensi logisnya seorang gubernur
akan menjadi sasaran ke-nyinyir-an pemberi mandat. Siapapun dia, apapun latar
belakangnya, seseorang yang kemudian berpredikat gubernur diharamkan nyinyir
mempersoalkan individu maupun kelompok yang tidak berpartisipasi memberikan
suara padanya, bahkan terhadap individu maupun kelompok yang secara faktual
justru memilih calon lain atau yang sekadar berpura-pura mendukungnya saat
kontestasi. Betapapun jika stigma-stigma itu didasari fakta otentik: tetap saja
tidak boleh!
Narasi Kebencian
Apa lacur, perjalanan waktu membawa masyarakat Sumatera
Utara untuk mendengar, membaca dan menyaksikan ke-nyinyir-an gubernurnya.
Betapa Sang Gubernur acap menjawab kritik dengan narasi sarkas, bahkan pedas
dan frontal.
Di awal-awal, narasi Gubsu Edy yang sontak menjadi
trending topik skala nasional muncul dalam sesi wawancaranya dengan jurnalis Aiman
Witjaksono terkait dinamika sepakbola tanah air. Ketika itu, Aiman bertanya: Apakah
Edy Rahmayadi terbebani dengan jabatan Ketua Umum PSSI setelah dirinya menjadi
gubernur?
Edy Rahmayadi menyergah Aiman dengan mengatakan, ”Apa hak
Anda bertanya seperti itu?”
Selanjutnya, ramai di media mainstream maupun media
sosial frasa “wartawan harus baik”. Sebuah frasa yang dilontarkan Edy Rahmayadi
untuk menyahuti ketegangannya dengan kalangan wartawan pasca-wawancara Aiman
Witjaksono.
Tak hanya lewat kata-kata, Gubsu Edy bahkan menunjukkan
sikap nyinyirnya dengan aksi fisik. Publik Sumatera Utara barangkali belum lupa
dengan kasus jewer kuping pelatih billiard!
Masih ada yang tak kalah heboh nan trending lantaran
jejak digitalnya masih terus diklik pengguna internet. Apa itu?
Dalam setiap kesempatan manggung di acara-acara partai
politik, akhir-akhir ini, Sang Gubernur kerap nyinyir terhadap utusan Partai
Golkar Sumatera Utara. Bahkan, terkesan mengolok-olok kader partai yang secara
de facto maupun de jure ikut membuatnya legal berkontestasi di Pilgubsu 2018
dan memenangi pemilihan.
Paling gress, nyinyir Edy Rahmayadi kepada kader Partai
Golkar saat memberi sambutan di acara Temu Ramah Kebangsaan dan Konsolidasi
Partai Gerindra di Hall Medan International Convention Center (Jumat, 18 November
2022). Sembari menunjuk, dia berseru, “Yang Kuning, kenapa nggak bermartabat
kau!”
Dilansir sejumlah media, Edy saat itu menunjukkan rasa
tidak senang lantaran menurutnya kader Partai Golkar tidak merespons dengan
meneriakkan slogan “Bermartabat” saat dirinya berteriak “Sumut”. Kalimat sarkas
tersebut dilontarkannya sebelum turun panggung mengakhiri pidato sambutan.
Barangkali tak membutuhkan jajak pendapat untuk
menyimpulkan saat ini kader Partai Golkar Sumatera Utara sudah menaruh
kebencian terharap Sang Gubernur lantaran narasi-narasi nyinyirnya.
Ada pendapat, tingginya intensitas ke-nyinyir-an Edy
Rahmayadi akhir-akhir ini berhubungan dengan Pilkada Serentak 2024. Jeda waktu
setahun lebih untuk dirinya bisa kembali merebut Kursi Sumut 1, membuat Edy
terus-terusan berupaya meraih trending topik, berharap orang tak melupakan
dirinya. (https://www.agiodeli.id/2022/11/menyoal-kontroversi-gubsu-edy-pengamat.html)
Nafikan Hak Azasi Manusia
Catatan akhir, betapa Gubsu Edy Rahmayadi bahkan telah
menafikan hak azasi manusia (HAM) dengan nyinyir atas pilihan orang
meningkatkan derajat kesehatan.
"Di Indonesia ini kalau dihitung uangnya ada Rp146
triliun, tapi dibawa ke luar ke Malaysia, ke Singapur dalam rangka rakyat kita
berobat. Dari Rp146 triliun itu, 5-8 triliun keluarnya dari Sumatera
Utara," kata Edy Rahmayadi saat menghadiri Ground breaking pembangunan Gedung
Rawat Iap RSU Haji Medan di Jalan RS Haji, Medan Estate. (https://medan.tribunnews.com/2022/11/16/gubernur-edy-rahmayadi-sebut-triliunan-rupiah-uang-warga-sumut-dipakai-untuk-berobat-ke-luar-negeri)
"Orang Sumut ini latah, sakit bisul saja berobat ke
Penang. Padahal saya yang bukan dokter bisa ngobatin bisul. Kalau 8 triliun itu
bisa kita lakukan di sini, paling tidak 2 sampai 3 jembatan setiap tahun kita
bisa bangun," lanjutnya.
Wajar jika orang-orang kemudian merespons dengan
membalikkan narasi seperti yang pernah dilontarkannya kepada jurnalis: Apa hak
Anda merecoki uang yang saya pakai untuk berobat?
Bukan diskusi baru sebenarnya ketika orang-orang di
negeri ini menyoal kualitas layanan kesehatan dari pemerintah. Namun, yang
lalu-lalu, para pemangku kepentingan berdiskusi bagaimana terjadi peningkatan
kualitas layanan kesehatan, sehingga oran-orang tak perlu ke luar negeri untuk
berobat.
Gubernur Sumatera Utara yang terhormat, ketahuilah bahwa Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 menyatakan setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat
tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan. Ini bagian dari penghormatan para founding father
Republik Indonesia terhadap implementasi penegakan HAM.
Kewajiban pemerintah
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat sebagai penegakan HAM memiliki landasan yuridis internasional dalam
Pasal 2 ayat (1) Konvensi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Kesehatan merupakan dasar diakuinya
derajat kemanusiaan. Tanpa kesehatan, seseorang menjadi tidak sederajat secara kondisional. Tanpa
kesehatan, seseorang tidak akan mampu memperoleh hak-haknya yang lain.
Tugas Anda selaku penyelenggara negara adalah menyiapkan
fasilitas kesehatan dan tenaga medis yang optimal, yang dapat diakses seluruh
masyarakat, sebagaimana amanat UU No 23
tahun 1992 tentang Kesehatan. Tapi, jangan
nyinyir jika masyarakat memilih untuk tidak menggunakan layanan yang Anda
berikan. Sepanjang, masyarakat tidak menggunakan uang negara untuk pilihan
tersebut.
Wallahu a’lam bishawab, jika terus-terusan nyinyir Anda
justru dipandang tak bermartabat. Lantas, bagaimana bisa membawa “Sumut
Bermartabat”?
*) Penulis adalah jurnalis, tinggal di Medan, Sumatera
Utara.