AgioDeli.ID – Pura Bali di Kabupaten
Serdang Bedagai (Sergai), Sumatera Utara, masih kokoh dan terawat. Bangunan ini
terhubung dengan peristiwa letusan Gunung Agung dan program transmigrasi Orde
Baru.
Pura Bali dibangun oleh tangan-tangan
terampil dari Pulau Dewata. Mereka bisa sampai ke Sergai tak terlepas dari dahsyatnya
letusan Gunung Agung, yang direspons Orde Baru dengan program transmigrasi.
Komang Reni, Ketua Sukaduka Umat Hindu
Bali, mengisahkan kembali rentetan peristiwa yang menghadirkan Pura Bali di
Sergai. Kisah dimulai dari letusan Gunung Agung, pengungsian, hingga adanya
program transmigrasi Orde Baru.
Berjuluk “Tanah Bertuah Negeri Beradat”,
Kabupaten Sergai lebih diwarnai adat dan budaya Melayu. Namun, penduduk kabupaten
ini sesungguhnya cukup beragam. Selain Melayu, di daerah ini juga ada Jawa,
Batak, Minang, hingga Tionghoa.
Meski populasinya sangat kecil, di
Sergai juga ada masyarakat etnis Bali. Mereka mendiami Desa Pegajahan,
Kecamatan Pegajahan.
Sebagaimana dikisahkan kembali oleh
Komang Reni, keberadaan etnis Bali di Sergai dilatari sejarah panjang dan
menarik. Semuanya berawal pada tahun 1963.
Saat itu, ungkap dia, terjadi letusan
Gunung Agung di Kecamatan Karangasem, Pulau Bali. Letusan dahsyat gunung berapi
ini mengakibatkan perubahan sosial signifikan di Bali.
Sejumlah 63 keluarga atau sekitar 200
jiwa terpaksa mengungsi ke Kota Denpasar. Tak lama berada di Denpasar, mereka
lalu dijadikan karyawan kontrak PT Perkebunan Nusantara II.
Dalam kurun waktu enam tahun, terhitung
dari 1963 hingga 1969, PT Perkebunan Nusantara II menempatkan mereka ke
perkebunan di Kecamatan Perbaungan. Penempatan ini merupakan bagian dari program
transmigrasi yang digagas Orde Baru.
Transmigrasi dirancang Pemerintah Orde
Baru untuk mengurangi kepadatan populasi di Pulau Jawa dan pulau-pulau di
sekitarnya, termasuk Bali. Program ini yang kemudian membuat etnis Jawa
menyebar ke seluruh penjuru Nusantara.
Meski sudah berstatus karyawan
kontrak, Komang Reni menyebut masyarakat Bali berhasil melakukan banyak
kegiatan dan mempererat hubungan silaturahmi dengan sesama etnis dan agama.
Mereka membuat arisan penganut Hindu yang berasal dari Bali.
“Pada akhir kontrak kerja mereka,
pihak perusahaan menawarkan dua pilihan, yaitu apakah mereka akan mengakhiri
kontrak atau melanjutkan kembali,” ungkapnya.
Sebagian, lanjut dia, memohon untuk
mundur dengan hormat karena ingin kembali ke tanah leluhurnya di Bali.
Pertimbangannya, mereka masih memiliki harta warisan di Pulai Bali yang dapat
dikelola kembali.
Sebagian lagi menyatakan ingin
melanjutkan kontrak kerja dan ingin terus menetap di Desa Pegajahan. Mereka
inilah yang kemudian membentuk perkampungan masyarakat Bali di Pegajahan.
Banyak dari mereka yang melanjutkan
kontrak kerja kedua dengan waktu selama 3 tahun, hingga 1972.
Kunjungan budayawan dan wartawan ke Pura Bali di Kabupaten Sergai, seusai peringatan Hari Pers Nasional 2023 di Medan. |
Seiring berjalannya waktu, masyarakat Bali melakukan adaptasi terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar.
Mereka menyisihkan gaji untuk tabungan.
Sehingga, dapat membeli tanah dan membuka usaha lainnya di luar kompleks
perkebunan.
Hal ini membantu mereka menjadi
masyarakat permanen di Desa Pegajahan dan bergabung dengan masyarakat lokal,
setelah kontrak kerja mereka berakhir.
“Namun sekarang warga Bali yang
tersisa hanya kurang lebih 7 KK,” ucap Komang.
Masyarakat Bali yang berada di
perkebunan tidak hanya fokus pada pekerjaan. Mereka juga mulai memikirkan
bagaimana membentuk hubungan yang lebih baik dengan masyarakat setempat.
Menurut Komang Reni, mereka menyadari integrasi
yang lebih baik dengan masyarakat perkebunan dapat membantu meningkatkan
kesejahteraan dan menciptakan lingkungan yang lebih harmonis.
Untuk mewujudkan hal ini, masyarakat
Bali mulai membentuk paguyuban-paguyuban dan organisasi solidaritas seperti
“Parisada Hindu Dharma”. Ini adalah bukti nyata bahwa masyarakat Bali memiliki
semangat gotong-royong dan solidaritas kuat.
Dengan bergabung dalam organisasi ini,
masyarakat Bali dapat saling membantu dan mendukung satu sama lain, baik dalam
hal keagamaan maupun sosial.
Selain itu, mereka juga dapat
memperkuat hubungan dengan masyarakat setempat dan mempererat rasa persaudaraan
antar-etnis.
Inisiatif yang diambil oleh masyarakat
Bali ini patut diapresiasi dan dijadikan contoh. Dengan membangun hubungan lebih
baik dengan masyarakat setempat, mereka mampu menciptakan lingkungan harmonis,
sekaligus meningkatkan kesejahteraan.
Masyarakat Bali di perantauan memiliki
keterikatan yang kuat pada unsur-unsur kebudayaan leluhur mereka. Hal ini
terlihat dari bagaimana mereka memegang teguh adat istiadat dan ajaran Hindu,
sebagai bagian dari identitas Bali.
Untuk mempertahankan tradisi dan
kepercayaan mereka, masyarakat Bali membangun Pura Dharmaraksaka di sekitar
rumah mereka. Pura ini menjadi pusat kegiatan keagamaan dan ritual bagi
masyarakat Bali yang tinggal di sekitarnya.
Meski jauh dari tanah kelahiran, mereka masih dapat menjalankan adat istiadat dan perayaan-perayaan seperti halnya di Bali.
Pura Bali di Kabupaten Sergai menjadi salah satu bukti sejarah menyebarnya masyarakat Bali lewat program transmigrasi Orde Baru setelah letusan Gunung Agung.
Destinasi Wisata
Saat ini, Pura Dharmaraksaka di Sergai telah menjadi pusat kegiatan umat Hindu Bali dari daerah lainnya di Sumatera Utara. Bahkan, sudah menjadi objek wisatawan.
Destinasi Pura Bali di Pegajahan menawarkan
pengalaman otentik bagi wisatawan. Suasananya dinilai persis seperti di Pulau
Dewata, Bali.
“Kegiatan yang kita sering dilakukan
yaitu 25 hari menjelang Hari Raya Galungan. Nanti berdatangan masyarakat Hindu
Bali yang berasal dari Kota Medan, Siantar, Aek Kenopan, dan Binjai, saat
perayaan itu," tambah Komang.
Kehadiran Kampung Bali di
tengah-tengah masyarakat Pegajahan menjadi bukti nyata bagaimana keberagaman
suku dan budaya dapat menjadi kekuatan. Di tempat ini, masyarakat etnis Bali yang
sebelumnya adalah pendatang sudah menyatu dengan etnis lainnya.
Untuk dapat diterima oleh masyarakat
setempat, masyarakat Bali dituntut mampu beradaptasi dan saling menghargai satu
sama lain. Begitulah, meski tidak mudah, mereka akhirnya dapat belajar bergaul
secara utuh dengan masyarakat setempat.
Program transmigrasi dan proses
adaptasi sejatinya sangat mungkin mengakibatkan tergerusnya kebudayaan leluhur
yang mereka bawa. Namun, tidak demikian halnya pada masyarakat etnis Bali di
Pegajahan.
Masyarakat etnis Bali di Pegajahan justru mampu menjadikan perbedaan yang dimiliki sebagai sebuah kekuatan unik. Hal ini menarik untuk diteliti lebih lanjut.
Pura Bali di Kabupaten Sergai yang dibangun transmigran Orde Baru menyusul peristiwa letusan Gunung Agung masih terlihat kokoh dan terawat.
Dikunjungi Budayawan
Keberadaan etnis Bali di Desa Pegajahan
membuat tertarik budayawan dan wartawan senior yang notabene Dewan Juri
Anugerah Kebudayaan PWI Tahun 2023. Mereka adalah Ninok Leksono, Nungki
Kusumastuti, Agus Dermawan T, dan Yusuf Susilo Hartono.
Awalnya, mengikuti rangkaian Hari Pers
Nasional Tahun 2023 (HPN) di Kota Medan. Namun, promosi yang disampaikan Pengurus
PWI Sergai membuat mereka tertarik dan akhirnya melakukan lawatan ke Sergai.
Sebelum berkunjung ke Pura Bali di
Pegajahan, rombongan terlebih dahulu mencicipi kuliner khas laut di Pantai
Pondok Permai. Sesudahnya, mereka juga mampir ke lokasi pacuan kuda Jerico Stable.
Kepala Dinas Komunikasi dan
Informatika (Kadis Kominfo) Sergai, Drs. H. Akmal, AP., M.Si., saat ditemui Selasa,
14 Maret 2023) menyampaikan bahwa kunjungan budayawan maupun wartawan dari ibu
kota tersebut diharapkan dapat mempromosikan potensi wisata di Sergai.
“Saya mendampingi saat mereka mengunjungi
Pura Bali di Pegajahan. Mereka sangat antusias dan merasa kagum dengan
keberagaman suku dan budaya di Kabupaten Sergai,” ungkapnya.
“Tak hanya ke Pura Bali, mereka juga
sempat mampir ke Pantai Pondok Permai untuk mencicipi kuliner khas laut dan
mendatangi pacuan kuda di Jerico Stable,” pungkasnya.
Begitulah kisah bagaimana masyarakat
Bali bisa sampai ke Desa Pegajahan di Sergai. Semua bermula dari letusan Gunung
Agung.
Melansir laman Wikipedia, letusan
Gunung Agung merupakan salah satu yang terbesar di Abad 20. Letusan berulang-ulang
sepanjang hampir setahun, dari 1963 hingga 1964.
Letusan dimulai pada 18 Februari 1963.
Ketika itu, Gunung Agung mengeluarkan dentuman dan asap secara vertical dan
mengeluarkan gas serta kolom abu vulkanik setinggi 20.000 meter.
Letusan utamanya terjadi 17 Maret 1963.
Letusan ini setidaknya telah mengakibatkan lebih dari seribu orang tewas dan
296 lainnya terluka. Letusan berakhir 27 Januari 1964.
Gunung Agung berada dalam Gugusan Gunung
Api Busur Sunda. Sebelum Letusan 1963, Gunung Agung juga sempat meletus
beberapa kali pada tahun 1710-1711, 1808, 1821 dan 1843.
Dahsyatnya letusan Gunung Agung di
tahun 1963, membuat sekolompok warga setempat terpaksa mengungsi dan menjadi
karyawan kontrak perkebunan. Sebagiannya kemudian memilih menetap dan membangun
Pura Bali di Desa Pegajahan. ***
Pura Bali di Kabupaten Sergai kini tak hanya menjadi pusat kegiatan umat Hindu Bali di Sumatera Utara, tetapi juga destinasi wisata.
Pengolahan data dan penyajian
informasi ini merupakan hasil kerjasama AgioDeli.ID dengan Dinas Komunikasi dan
Informatika (Diskominfo) Kabupaten Serdang Bedagai, penulis: Sari Mahdini.