Advokat Dedi Kurniadi: Konflik Rempang merupakan warisan Rezim Soeharto. Foto: dokumen pribadi
Oleh: Dedy
Kurniadi
KONFLIK Rempang adalah semata pengulangan. Tanah sebagai sumber daya terbatas
selalu menjadi titik tubrukan kepentingan.
Rakyat
menjadikan lahan sandaran hidup berkoloni turun temurun. Sementara,
pengusaha membutuhkan lahan luas untuk memutar modal.
Negara hadir
di tengah-tengah tubrukan kepentingan itu. Hadir melalui produk hukum, lengkap
dengan penegakan hukum berikut penyimpangan-penyimpangannya.
Rangkaian Pulau
Batam-Rempang-Galang (Barelang) sejatinya bukanlah tanah tanah kosong. Sejak
dahulu kala, masyarakat adat telah tinggal di kampung-kampung tua. Mereka
berada di sana bahkan sebelum Indonesia menjadi negara.
Pada tahun
1973, Rezim Soeharto menginisiasi pengelolaan langsung negara terhadap Barelang.
Diterapkanlah “Hak Pengelolaan” (HPL) sebagai implementasi hak menguasai negara.
Badan
Pengelola (BP) Batam mendapat kekuasaan langsung melalui sertifikat HPL untuk sekujur Barelang. Dengan HPL, BP Batam berkuasa menentukan
peruntukan, mengikat perjanjian dan menyerahkan bagian HPL kepada pihak swasta.
Batam tumbuh pesat sejak saat itu.
Saat HPL
diterbitkan, penduduk kampung-kampung tua di Barelang ternyata dikesampingkan.
Tanpa mereka sadari, lahan kehidupan mereka telah di-HPL-kan oleh negara.
Warga
kampung tua telah menjadi penumpang gelap di kampung mereka sendiri. Hambatan
untuk pengurusan sertifikat menjadi salah satu contoh.
Negara
mengenyampingkan penghormatan terhadap hak adat. Tersiar statemen Menteri
Agraria yang menyatakan bahwa masyarakat adat tidak memiliki sertifikat. Statemen
ini bertolak belakang dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang
menghormati hak adat.
HPL ala Soeharto
mendapat stempel pengakuan melalui omnibus law. Tak ada yang salah dengan HPL
secara konseptual. Namun, masyarakat adat bagaimanapun perlu pengakuan.
Sejak Era
Soeharto, masyarakat adat terpinggirkan secara sistematis. Sekarang, berpuluh
tahun sejak reformasi, mereka juga tidak terselamatkan.
Perbenturan
kepentingan pasti berkelanjutan. Negara kembali diuji keberpihakannya.
Mengedepankan kepentingan investasi atau menghormati hak-hak masyarakat?
Apakah
masyarakat Rempang tetap akan direlokasi? Apakah mereka tidak layak untuk
mendapatkan rekognisi? (*)
*) Penulis
adalah advokat dan pemerhati sosial, tinggal di Daerah Khusus Ibukota (DKI)
Jakarta