Memaknai Pemilu sebagai Sarana Integrasi Bangsa

Editor: AgioDeli.id author photo

Imam Syuhada Akbar Memaknai Pemilu 2024

Oleh: Imam Syuhada Akbar, S.Pd.

PESTA DEMOKRASI telah di depan mata. Momen di mana rakyat akan diminta aktif sebagai subjek dalam negara demokrasi. Sebagai subjek, yakni sebagai insan yang memiliki tanggung jawab dan rasa dalam menentukan maju-mundur, maupun naik-turunnya kualitas hidup dari sebuah bangsa.

Pesta demokrasi telah di depan mata. Sebab, tahun 2024 pun akan tiba dalam hitungan setengah kalender lagi. Tahun 2024 akan tiba sebagai puncak pesta demokrasi lima tahunan yang merupakan amanat konstitusi di Indonesia, dengan adanya pergantian kepemimpinan baik pada lembaga eksekutif maupun legistlatif.

Perebutan kursi kepemimpinan akan diupayakan sebagai usaha untuk memajukan kehidupan bangsa. Setiap pemimpin akan terpilih dan setiap harapan akan ditumpangkan pada bahu orang-orang yang terpilih.

Seyogyanya, sebuah pesta disambut gembira disertai gotong-royong sebagai bagian dari identitas kebudayaan bangsa kita, bangsa Indonesia. Kita pernah merasakan tajamnya perbedaan dan polarisasi pada Pemilu 2014 dan 2019, yang bahkan hingga kini masih membekas.

Kala itu pemilu terpola menjadi ajang saling membenci, bahkan saling serang antara satu pihak dengan pihak lain. Alih-alih menjadi sarana adu visi maupun gagasan, pesta demokrasi ketika itu justru berubah menjadi medan tempur, nyaris dalam artian sebenarnya. Para pihak saling caci, bahkan saling maki.

Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi sopan dan santun, seyogyanya kita dapat memanfaatkan momen 2024 sebagai bagian tak terpisahkan untuk berlomba memperjuangkan ideologi maupun pikiran, agar dapat diterapkan untuk memerdekakan keadaan ke depan. Ingat, beda pilihan adalah suatu hal yang biasa saja. Mengingat, kontestasi merupakan upaya untuk memajukan bangsa melalui cara-cara bagi para pemenang.

Banyak jalan menuju Roma. Demikian halnya terbuka banyak pilihan cara untuk memajukan bangsa ini. Cara yang lebih sesuai dengan karakter bangsa dan budaya yang diwariskan leluhur. Lalu, mengapa harus memilih jalan yang terlihat mudah, namun mengorbankan masa depan persatuan dan kesatuan? Mengapa memilih polarisasi yang mengakibatkan perpecahan, hanya lantaran ingin murah dan mudah memenangkan kontestasi?

Suasana pada hari-hari menjelang kontestasi 2024 dapat dipastikan akan diwarnai perbedaan pendapat. Tak jarang kita akan mendapatkan gambaran-gambaran ide. bukankah sebaiknya kita menyiapkan energi untuk mengujinya? Jangan pula justru mengoreksinya dengan kata-kata non substansial yang berisi dengan ujaran kebencian!

Kalau pesta demokrasi ini diibaratkan sebuah jarring, maka setiap kita adalah benang. Kita saling bersatu, saling berkait hingga terajutnya jaring. Bukankah jaring dipergunakan untuk menangkap ikan, untuk setiap perut yang membutuhkan? Terus, kenapa kita hanya memimikirkan saling beradu sehingga jaring tak jua terajut?

Ingat, pesta 2014 dan 2019 telah usai. Setiap pisau yang tajam hendaknya kita ganti menjadi benang. Benang pada pesta demokrasi ini hanya memiliki dua warna: merah dan putih.

Putih melambangkan kesucian. Suci dalam hati yang kita teruskan pada niat. Niat dilanjukan menjadi usaha dan setiap usaha diperjuangkan dengan keberanian yang dilambangkan dengan benang warna merah. Maka, setiap insan adalah benang merah dan benang putih.

Pemilu 2024 harus secara nyata menjadi sarana integrasi bangsa. Persatuan dan kesatuan bangsa harus menjadi satu-satunya target. Slogan ini tentu harus diimplementasikan oleh semua pihak, bukan hanya penyelenggara dan peserta pemilu. Seluruh masyarakat Indonesia harus mengimplementasikan Pemilu 2024 sebagai wujud kebhinekaan bangsa dan demi Persatuan Indonesia, sebagaimana tertuang dalam butir ketiga Pancasila. ***

 

*) Penulis adalah Komisioner Panitia Pemilihan Kecamatan Batang Kuis, Deli Serdang dalam Pemilu 2024.

Share:
Komentar

Berita Terkini

 
Desain: indotema.com