-->

Analisis Aktor Hukum: Determinasi Hukum dalam Cara Pandang Hukum Progresif

Editor: AgioDeli.id author photo
Foto: Istimewa


Agiodeli.id - Dalam kamus hukum, determinasi dimaknai sebagai pengakhiran atau penghentian hubungan hukum berdasarkan ketentuan undang-undang. Namun, realitas praksis memperlihatkan bahwa determinasi hukum bukan sekadar kata dalam teks, melainkan proses yang menentukan arah kehidupan masyarakat, menata relasi sosial, sekaligus membatasi ruang: mana yang boleh dan mana yang dilarang.


Persoalan muncul ketika hukum berhenti pada teks dan kehilangan rohnya. Di banyak ruang peradilan Indonesia, hukum justru menjelma pagar besi: kaku, dingin, dan mengekang. Hukum tidak lagi menjadi jembatan keadilan, melainkan sebatas prosedur administratif yang kerap mengabaikan nurani publik.


Satjipto Rahardjo, lewat gagasan hukum progresif, menawarkan jalan keluar. Baginya, hukum ada untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Jika teks undang-undang menghalangi tegaknya keadilan, maka teks itulah yang harus dilampaui. Hukum progresif menuntut keberanian aparat hukum untuk menafsirkan aturan demi nilai kemanusiaan.


Paradigma positivistik yang mendominasi praktik hukum Indonesia selama puluhan tahun telah melahirkan kultur birokratis di kepolisian, kejaksaan, hingga peradilan. Kepastian prosedural lebih dihormati ketimbang keadilan substantif. Akibatnya, vonis kerap dijatuhkan tanpa mempertimbangkan konteks sosial, menjadikan determinasi hukum terjebak dalam legalisme kering.


Ironinya, celah ini dimanfaatkan para koruptor. Data Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, rata-rata hukuman koruptor pada 2023 hanya 3 tahun 6 bulan penjara. Angka itu jauh lebih ringan dibanding kasus pencurian ringan yang bisa berujung hukuman serupa. Determinasi hukum dalam kerangka positivistik justru melahirkan ironi: tumpul ke atas, tajam ke bawah.


Hukum progresif menolak kondisi tersebut. Determinasi hukum bukan hanya membatasi perilaku, tetapi juga proses dinamis untuk menghadirkan keadilan. Hakim, jaksa, dan polisi dituntut kreatif membaca kasus. Tanpa nurani, hukum hanya menjadi mesin birokrasi yang merusak rasa keadilan rakyat.


Konflik agraria adalah contoh paling kentara. Kasus tanah yang melibatkan masyarakat adat seringkali kalah oleh sertifikat formal perusahaan. Dalam logika positivistik, sertifikat adalah bukti absolut. Namun dalam kacamata progresif, sertifikat tidak boleh membungkam sejarah, tradisi, dan hak hidup masyarakat adat.


Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat sepanjang 2022 terdapat 212 konflik agraria dengan luasan lebih dari 500 ribu hektare. Mayoritas korban adalah petani dan komunitas adat. Determinasi hukum dalam perspektif progresif menuntut keberanian aparat untuk berpihak pada yang lemah, bukan sekadar tunduk pada kekuatan modal.


Namun, progresivisme hukum bukan tanpa risiko. Ketika aparat diberi ruang menafsir melampaui teks, potensi penyalahgunaan kewenangan dan kekuasaan selalu terbuka. Pertanyaannya: bagaimana menjaga agar kebebasan progresif tetap berpijak pada akuntabilitas? Jawaban terletak pada integritas dan kecerdasan etis aparat hukum.


Di sinilah urgensi pembaharuan mental aparat hukum menjadi tak terbantahkan. Komisi Yudisial mencatat sepanjang 2023 ada 1.624 laporan dugaan pelanggaran etik hakim. Angka ini menegaskan bahwa progresivisme hukum hanya mungkin berjalan bila etika dan integritas dijadikan fondasi. Tanpa itu, progresivisme bisa terjerumus menjadi oportunisme.


Meski berisiko, jalan progresif tetap relevan. Ketidakadilan struktural yang lahir dari sistem hukum positivistik tidak akan terselesaikan bila aparat hukum hanya berfungsi sebagai corong undang-undang. Keberanian menafsir melampaui teks menjadi syarat agar hukum benar-benar hadir sebagai pelindung rakyat.


Hukum progresif mengajak kita meninjau ulang relasi antara hukum dan masyarakat. Hukum bukan entitas sakral yang turun dari langit, melainkan produk manusia. Karena itu, ia harus terbuka terhadap koreksi, inovasi, bahkan keberanian melawan teks demi menegakkan nilai-nilai kemanusiaan.


Determinasi hukum sejatinya adalah keberpihakan: bukan pada kekuasaan, bukan pada modal, melainkan pada rakyat. Hukum progresif memberi mandat moral bagi aparat untuk menegakkan keadilan substantif. Tanpa itu, hukum hanya akan menjadi menara gading yang jauh dari denyut kehidupan masyarakat.


Indonesia membutuhkan lebih banyak hakim, jaksa, polisi dan advokat progresif. Agar hukum tidak lagi tajam ke bawah, tumpul ke atas. Agar hukum kembali pada esensinya: bukan sekadar aturan mati, melainkan jalan menuju keadilan yang beradab.


Penulis: Adv. M.Taufik Umar Dani Harahap, S.H., Merupakan Praktisi Hukum Dan Aktivis Musyawarah Rakyat Banyak

Share:
Komentar

Berita Terkini

 
Desain: indotema.com