Republik Lanfang dan Eksklusivitas Tionghoa Medan

Editor: AgioDeli.id author photo

Republik Lanfang
Salah satu perkampungan/kongsi Hakka di Republik Lanfang. sumber: malangtimes.com

agiodeli
Saat menulis artikel berjudul “Lanfang: Kisah Sebuah Republik di Belantara Kalimantan” yang diunggah
www.republika.co.id, jurnalis senior Teguh Setiawan sempat menyinggung komunitas Hakka-Hoklo di Medan.

“Menjadi sangat menarik jika mengaitkan sejarah Republik Lanfang dengan komunitas Hakka dan Hoklo di Medan dan Kuala Lumpur,” ulik penulis buku China Muslim: Runtuhnya Republik Bisnis ini dalam artikel tersebut.

Sejarah Republik Lanfang di Kalimantan belakangan menjadi sangat populer. Informasinya dimunculkan kembali oleh banyak pihak, sehubungan akan dibangunnya Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur, yang kelak akan menjadi pusat pemerintahan Republik Indonesia.

Lantas, apa benang merah antara Republik Lanfang dengan etnis Tionghoa di Medan maupun Kuala Lumpur yang kiranya menarik diulas? Secara spesifik atas keberadaan etnis Tionghoa di Medan, barangkali, satu hal yang seakan tak pernah tuntas dibahas adalah eksklusivitasnya.

Etnis Tionghoa, yang telah menjadi bagian dari bangsa Indonesia, penyebaran populasinya boleh dibilang sudah merata di segala penjuru negeri. Namun, yang tetap kukuh turun-temurun hingga kini menggunakan Bahasa Hokkian dalam keseharian hanyalah kaum Hakka-Hoklo di Medan. Penggunaan bahasa ibu, menjadi ciri eksklusif Hakka-Hoklo yang kini merasa lebih nyaman disebut etnis Tionghoa Medan.

Mengutip dari laman https://id.wikipedia.org, Bahasa Hokkien atau Hokkian adalah salah satu dari cabang Bahasa Minnan (Min Selatan) yang merupakan bagian dari Bahasa Han (Tionghoa). Bahasa ini terutama digunakan secara luas di Provinsi Fujian dan sebelah utara Guangdong, Tiongkok.

 

Tip-Top
Restoran Tip-Top, salah satu ikon peninggalan sejarah kawasan Pecinan di Kesawan, Medan.

Kuli Kontrak Perkebunan Tembakau

Berdasarkan jurnal 'Masuknya Bangsa China ke Pantai Timur Sumatera' terbitan Universitas Sumatera Utara (USU) yang ditulis Jufrida, migrasi massif etnis Tionghoa ke Kota Medan dimulai dengan dibukanya perkebunan tembakau besar-besaran di Kesultanan Deli, pertengahan 1869.

Adalah Jacob Nienhuys, seorang warga negara Belanda yang mengupayakan pembukaan secara luas perkebunan tembakau di wilayah Kesultanan Deli. Dia mendirikan perusahaan perkebunan bernama Deli Maatschappij, setelah mendapatkan hak konsesi dari Sultan Deli.

Saat Nienhuys pertama kali tiba di Kesultanan Deli, sekitar pertengahan 1863, sudah ada etnis Tionghoa yang tinggal di daerah ini. Saat itu, terdapat sekitar 20 orang Tionghoa dan 100 India dari sekitar 1.000 penduduk Kampung Labuhan Deli, tempat Nienhuys menetap. Selebihnya merupakan penduduk lokal Melayu.

Kurangnya minat penduduk lokal untuk bekerja di perkebunan tembakau membuat Deli Maatschappij mendatangkan kuli kontrak dari Tiongkok, Pulau Jawa dan India. Para kuli didapat dari agen di Penang dan Singapura.

Kedatangan pekerja kontrak ini membuat komposisi penduduk Medan berubah. Warga Tionghoa bahkan sempat dominan di kota ini.

Hasil sensus tahun 1930, etnis Tionghoa mencapai 35,6 persen dari keseluruhan penduduk. Mereka mengalahkan etnis Jawa, yang umumnya juga kuli kontrak. Jumlah etnis Jawa di Medan hanya 24,89 persen. Sementara, etnis lokal Melayu sendiri cuma berkisar 7 persen.

Selain yang datang dengan status kuli kontrak, imigran China juga masuk ke Medan secara mandiri. Mereka merupakan kalangan pedagang, salah satunya Tjong A Fie (1860-1921).

Berkat kemampuan dagang dan diplomasinya, Tjong A Fie dekat dengan para kaum terpandang di Medan. Bahkan, termasuk di antaranya dekat dengan Sultan Deli, Ma'moen Al Rasyid serta pejabat-pejabat Kolonial Belanda.

Tjong A Fie berasal dari  dari keturunan orang Hakka di Sungkow, Meixian, Guangdong. Saat masih berumur 15 tahun, tepatnya pada 1875, dia masuk ke ke Medan menyusul kakaknya, Tjong Yong Hian. Sang kakak sudah lebih dulu merantau ke Medan. Dalam tempo 5 tahun, Tjong Yong Hian sudah menjadi kapitan (pemimpin) Tionghoa di Medan.

Kuli Kontrak
Suasana kerja para kuli kontrak di perkebunan tembakau, Tanah Deli.


 Kuli Tambang Emas

Sekitar 129 tahun sebelum bermigrasi secara massif ke Tanah Deli, kelompok-kelompok berbahasa Hokkian dari Provinsi Fujian, Tiongkok sudah lebih dulu tiba di daratan Kalimantan. Yang pertama kali mendatangkan mereka sebagai kuli pertambangan adalah Kesultanan Mempawah pada 1740.

Semula, Mempawah merupakan Kerajaan Dayak dan sempat akrab dengan Majapahit, sebelum berganti menjadi kesultanan Melayu seiring masuknya agama Islam. Wilayah Mempawah terletak antara Pontianak dan Sambas, berjajar dalam satu garis pantai di Selat Karimata.

Migrasi orang-orang China ke Kalimantan menjadi lebih cepat lantaran Kesultanan Sambas juga menghadirkan mereka untuk mengelola tambang emas baru. Mereka didatangkan dalam jumlah besar.

Populasi masyarakat China di Kalimantan Barat menembus puluhan ribu sekitar tahun 1767. Kehadiran kaum imigran dari Cina di Pulau Borneo pun menjadi bagian dari sejarah perdagangan dan politik Asia kala itu.

Saking banyaknya, mereka kemudian membentuk kelompok atau kongsi dagang, berdasarkan wilayah pertambangannya. Di area kongsinya yang mirip perkampungan, mereka menjalani kehidupan seperti di negeri asal. Mereka menerapkan tradisi China dalam kehidupan sehari-harinya. Hal ini diurai Hidayat Zenal Mutakin dalam buku berjudul “Masyarakat dan Kebudayaan Cina Indonesia”.

Seiring bertambahnya populasi, jumlah kongsi dagang yang mereka bentuk terus berkembang. Mereka berada di bawah naungan Kesultanan Sambas maupun Mempawah, namun diberi keleluasaan mengatur diri sendiri, termasuk dalam hal pengangkatan pemimpin. Dari sinilah benih-benih Republik Lanfang terbentuk.

Baik Kesultanan Sambas maupun Mempawah tidak mempersoalkan bagaimana cara para imigran dari China itu mengatur diri mereka sendiri. Kesultanan hanya meminta masing-masing kongsi itu menyetor 1 kilo emas tiap bulannya.

Memasuki tahun 1770, kongsi-kongsi itu mulai membangkang. Mereka menolak menyerahkan 1 kilo emas per bulan dan hanya bersedia menyetor separuhnya. Keberanian orang-orang Cina melakukan perlawanan salah satunya disebabkan kehidupan ekonomi mereka yang sudah lebih mapan ketimbang rata-rata orang Melayu maupun Dayak.

Akhirnya peperangan pun meletus antara kaum pendatang dengan warga lokal. Banyak pejabat kesultanan dari Suku Dayak tewas.

Sultan Umar Aqamaddin II, pemimpin Sambas kala itu, habis kesabaran dan mengirim pasukan untuk membasmi pemberontakan. Terjadi pertempuran dalam skala kecil selama 8 hari, sebelum akhirnya kelompok-kelompok imigran China tersebut menyerah.

Sultan Sambas ternyata tidak menjatuhkan hukuman berat. Mereka tetap diperbolehkan kembali bekerja di pertambangan, namun harus menyetor upeti sebanyak 1 kilo saban bulan. Sikap Sultan Sambas ini diungkap M.D. La Ode dalam buku “Politik Tiga Wajah”.

 

Hee Soon; Embrio Republik Lanfang

Lo Fang Pak
Kedatangan Lo Fang Pak, pendiri Republik Lanfang di Kalimantan Barat.

T
ahun 1776, masyarakat China di Kalimantan Barat sudah membentuk 14 kongsi. Sebanyak 12 kongsi berada di Kesultanan Sambas, berpusat di Montraduk. Sedangkan 2 kongsi lainnya berada di Kesultanan Mempawah dan berpusat di Mandor.

Ke-14 kongsi tersebut kemudian membentuk aliansi dalam satu organisasi bernama Hee Soon pada 1777. Tujuannya untuk memperkuat persatuan sekaligus meminimalisir terjadinya polemik antar-kongsi.

Hee Soon inilah embrio Republik Lanfang. Penggagasnya adalah Lo Fang Pak yang di Sambas pada 1775, tak lama setelah konflik sesama kongsi Cina berakhir.

Lo Fang Pak memiliki hubungan yang baik dengan Dinasti Qing di Cina. Ia berkeinginan agar kaum perantauan di Borneo bersatu dan tidak terpecah-belah satu sama lain.

Berdirinya Kesultanan Pontianak pada 1778 membuka peluang bagi kongsi-kongsi China mendapatkan perlindungan, jika sewaktu-waktu bermasalah lagi dengan Sambas, Mempawah, maupun pihak-pihak lain. Terlebih lagi, posisi Pontianak lebih kuat karena didukung VOC/Belanda.

Lo Fang Pak cukup piawai dalam hal diplomasi. Ia kemudian berhasil menjalin kedekatan dengan Sultan Pontianak, Syarif Abdurrahman Al Qadri. Intuisi Lo Fang Pak ternyata tepat. Pada 1789, Kesultanan Pontianak dengan bantuan Belanda berhasil merebut wilayah Kesultanan Mempawah.

Hee Soon yang dipimpin Lo Fang Pak turut mendukung penyerangan ini. Alhasil, sejak tahun 1793, Sultan Pontianak memberikan kewenangan lebih luas kepada Lo Fang Pak untuk mengelola kongsi-kongsi.

Republik Lanfang pun dideklarasikan meskipun masih bernaung di bawah Kesultanan Pontianak dan sebagian lagi berada di wilayah Kesultanan Sambas. Lo Fang Pak terpilih sebagai presiden dalam pemilihan umum (pemilu) pertama (Sinergi Indonesia, Masalah 34-39, 2006).

Republik Lanfang memang seperti negara di dalam negara lain. Namun, republik pertama di Nusantara ini memperoleh kewenangan sangat luas untuk mengelola wilayah dan rakyatnya sendiri. Hanya, Republik Lanfang harus membayar upeti bulanan kepada Kesultanan Pontianak dan Sambas.

Republik Lanfang juga mendapat pengakuan dari Dinasti Qing di Cina dan secara rutin mengirimkan upeti ke negeri asal mereka itu. Lanfang punya undang-undang sendiri untuk mengatur berbagai aspek kehidupannya, mulai dari tata negara, hukum, ekonomi, pendidikan, dan sektor-sektor penting lainnya.

Dalam buku “Etnis Cina Indonesia dalam Politik” terbitan 2012, M.D. La Ode menuliskan bahwa Lanfang telah melengkapi diri dengan dewan pemerintahan, pengadilan, penjara, bahkan pasukan bersenjata. Layaknya sebuah negara.

Riwayat Republik Lanfang berlangsung hingga 107 tahun. Dalam kurun waktu itu, republik ini telah melahirkan 13 presiden yang dipilih langsung oleh rakyatnya.

Seiring kian kuatnya pengaruh Belanda di Borneo, termasuk Kalimantan Barat, sekitar tahun 1880 Republik Lanfang mulai menunjukkan kemunduran.

Presiden Lanfang saat itu dipaksa menandatangani perjanjian di Batavia. Intinya, Republik Lanfang berada di bawah kendali Belanda.

Beberapa kongsi tidak sepakat dan menyerang Belanda. Akibatnya fatal. Belanda menggempur Republik Lanfang dan berhasil ditaklukkan pada 1884.

Presiden terakhir, Liu Ah Sin, tewas dan Republik Lanfang mengalami kehancuran total. Kehancuran Lanfang ini diulas khusus oleh Hari Poerwanto dalam buku “Orang Cina Khek dari Singkawang”.

Rakyat Lanfang yang lolos dari serbuan Belanda ramai-ramai mengungsi ke Semenanjung Malaysia dan Pulau Sumatera.

 

Bergabung ke Medan Membangun Eksklusivitas

Asia Mega Mas
Kompleks Asia Mega Mas di kawasan Sukaramai, salah satu kawasan bisnis dan permukiman etnis Tionghoa di Medan.

Dalam artikel “Lanfang: Kisah Sebuah Republik di Belantara Kalimantan”, Teguh Setiawan mengutip kesimpulan Josef Widjaja, salah seorang penulis sejarah Tionghoa bahwa Republik Lanfang di Kalimantan Barat tidak benar-benar musnah. Gagasannya dibawa masyarakat Hakka yang lari ke Medan, diwariskan ke generasi berikut yang menyebar dari Kuala Lumpur sampai Singapura. Salah satu keturunan mereka; Lee Kuan Yew, mendirikan Republik Lanfang kedua bernama Singapura.

Nah, di Medan, ideologi Lanfang diwujudkan dengan membangun ekslusivitas bersama komunitas Hakka-Hoklo yang sudah menguasai perdagangan. Mereka membentuk kawasan-kawasan pemukiman khusus, yang sekaligus dijadikan pusat perdagangan.

Eksklusivitas kawasan-kawasan itu masih terlihat hingga sekarang. Fakta menunjukkan kawasan pusat Kota Medan, yakni Jalan Ahmad Yani (Kesawan), Jalan Cirebon, Jalan Sutomo, Jalan M.H. Thamrin, Jalan Sumatera dan sekitarnya, hingga Jalan Asia dan menembus Sukaramai, merupakan pusat pemukiman sekaligus pusat dagang etnis Tionghoa Hakka-Hoklo di Medan. Di kawasan-kawasan ini berdiri sejumlah mal yang juga mereka kuasai.

Eksklusivitas juga mereka tunjukkan dengan penggunaan bahasa ibunya, Hokkian, dalam kehidupan sehari-hari hingga kini. Mereka juga mengidentifikasi diri dengan istilah “tenglang” yang dalam Bahasa Hokkian berarti orang panjang. Sementara, warga non-Tionghoa mereka sebut “huana” yang berarti orang asing. (indra/diolah dari berbagai sumber)

Share:
Komentar

Berita Terkini

 
Desain: indotema.com