Suasana kerangkeng di rumah Bupati Langkat nonaktif, Terbit Rencana Peranginangin.
AgioDeli.ID – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan
(KontraS) Sumatera Utara (Sumut) mendesak Polda Sumut segera memastikan penegakan hukum kasus
kerangkeng manusia milik Bupati Langkat nonaktif, Terbit Rencana Peranginangin
(TRP).
Staf
Informasi dan Dokumentasi KontraS Sumut, Adinda Zahra Noviyanti, dalam keterangan tertulisnya yang diterima
wartawan, Jumat (11/3/2022), mengatakan sejak penemuan kerangkeng pada
Januari lalu, kepolisian bersama Komnas HAM dan lembaga-lembaga lain sudah
merilis berbagai temuan yang cukup komprehensif.
"Sudah
lebih satu setengah bulan sejak kerangkeng ditemukan, namun masih belum ada
juga penetapan tersangka bagi para pelaku yang diduga terlibat," kata
Adinda Zahra Noviyanti.
Dari update
monitoring yang dilakukan KontraS, Dinda mengatakan hingga minggu pertama Maret 2022 kepolisian
baru menaikkan
status perkara dari penyelidikan ke penyidikan. Itu pun secara spesifik terkait
konteks temuan penghuni yang meninggal selama dalam kerangkeng.
Lambatnya penetapan tersangka dalam kasus kerangkeng manusia milik TRP, kata Dinda, patut dipertanyakan. Penetapan tersangka menurutnya menjadi satu poin penting untuk menakar komitmen kepolisian. Terlebih, kepolisian sudah memeriksa 70 saksi, menyita sejumlah barang bukti serta melakukan ekshumasi dan autopsi.
Pemulihan Kondisi Korban
Selain
mendorong sesegera mungkin penetapan tersangka, Dinda juga menyampaikan
beberapa catatan KontraS Sumut dalam menyikapi proses hukum kasus tersebut. Salah satunya, pemenuhan hak bagi
para penghuni kerangkeng (korban) dan perlindungan bagi saksi.
"Ada
sekitar 57 orang yang terdata terakhir di dalam kerangkeng sebelum ditemukan.
Harus dipenuhi haknya, baik itu dalam bentuk pemulihan fisik maupun psikis.
Selama ini, semua cenderung fokus pada penegakan hukum, negara sampai lupa ada
hak-hak korban yang harus dipenuhi," tegasnya.
Dikatakannya lagi, para korban perlu dipulihkan psikisnya karena
mengalami berbagai tindakan tidak manusiawi. Mengingat, banyak korban merupakan
orang-orang dengan permasalahan sosial yang seharusnya juga menjadi tanggung
jawab negara, terutama yang berusia anak.
Berikutnya,
ada korban meninggal yang juga harus dipenuhi hak bagi keluarga korban, apakah
itu dalam bentuk restitusi ataupun kompensasi.
Dia pun
menekankan agar Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) proaktif memberikan akses keadilan bagi
saksi dan korban yang telah melapor kepada kepolisian.
Dugaan Keterlibatan Oknum Aparat
Hal lain
yang menjadi sorotan KontraS adalah terkait temuan keterlibatan oknum Polisi
dan TNI. Dinda menegaskan, kepolisian melalui Propam dan TNI melalui POM, wajib bertindak
cepat memeriksa personelnya
yang terlibat.
"Poin
pentingnya, proses hukum bagi aparat Polisi dan TNI yang diduga terlibat harus
dilakukan secara professional dan transparan. Sehingga, publik bisa mengetahui
siapa, bagaimana dan sejauh apa bentuk keterlibatan mereka. Ini diperlukan agar
tidak malah jadi asumsi liar yang justru makin merusak citra Polisi dan TNI di hadapan
publik," tukasnya.
Pengadilan HAM
Catatan
terakhir, KontraS menilai kasus kerangkeng manusia ini bukan sekadar tindak
pidana biasa. Dari pola dan bentuk pelanggaran yang terjadi, lembaganya menyimpulkan
perkara ini merupakan pelanggaran
HAM berat. Jika demikian, maka bukan tidak
mungkin diadili menggunakan mekanisme pengadilan HAM.
Mengacu
kepada Undang-Undang (UU) 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, pelanggaran
yang dapat diseret adalah pelanggaran HAM berat yang meliputi genosida dan
kejahatan kemanusiaan lain. Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam UU ini adalah
salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas
atau sistematik,
yang diketahui bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap
penduduk sipil.
"Bentuknya
bisa banyak, pembunuhan, perbudakan, penyiksaan, dan perampasan kemerdekaan
seperti yang diduga terjadi di dalam kerangkeng manusia adalah beberapa
contohnya," tegas Dinda.
Ditambahkannya,
unsur meluas dan sistematik menunjukkan pada keterlibatan otoritas yang
memegang kekuasaan sehingga terjadi pelanggaran.
Sebagaimana
diketahui, dalam kasus kerangkeng milik Bupati Langkat, keterlibatan otoritas
pemegang kekuasaan sangat jelas. Di situ ada Bupati Langkat, pejabat pemerintah lain, hingga
aparat keamanan negara.
Jika melihat
pada instrumen HAM internasional, istilah meluas merujuk pada jumlah. Temuan Komnas HAM setidaknya ada enam
orang meninggal dunia. Angka ini belum termasuk korban fisik dan trauma psikis.
Ini belum
lagi korban yang tidak memiliki keberanian untuk mengungkap penyiksaan yang
dialaminya selama berada di dalam kerangkeng.
Sebuah
catatan yang KontraS Sumut temukan di dalam kerangkeng, setidaknya sudah 433 orang pernah
mendiami kerangkeng tersebut. Angka yang disebutkan Polda dan Komnas HAM bahkan
jauh lebih banyak dari itu.
Satu hal
yang pasti, kata Dinda, beroperasinya kerangkeng secara tegas telah merenggut hak
asasi manusia. Hak asasi tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable rights).
Contohnya adalah hak
untuk tidak disiksa, hak atas kemerdekaan pikiran dan hati nurani, serta hak untuk tidak diperbudak.
Kesemuanya tegas diatur dalam Pasal 28I UUD 1945 dan UU No.39 tahun 1999 tentang HAM. (ari)