Jika Anwar Usman Tidak Mundur, Masihkah Layak Sebutan "Yang Mulia Pak Hakim”?

Editor: Donny author photo

Jurnalis Senior Mantan Ketua PWI Pekan Baru, Affan Bey Hutasuhut

AgioDeli.id
- Dalam setiap penanganan perkara di pengadilan, persidangan, baik jaksa, pengacara, para terpidana, maupun penggugat atau tergugat, harus lebih dulu mengucap “Yang Mulia" sebelum angkat bicara.

Begitulah adabnya, sebagai salah satu cara untuk menunjukkan rasa hormat kepada hakim. Sebab, hakim dilihat sebagai sosok kepercayaan dan kepasrahan masyarakat untuk mendapatkan putusan mengenai perkara yang dihadapi.

Pandangan ini boleh jadi benar, karena kedudukan hakim sebagai pemutus keadilan dan kebenaran memang berat. Makanya, ulama dahulu banyak yang menghindar jika ditunjuk menjadi hakim.

Ustdz Ahmad Sarwat, Lc., MA melalui laman Rumah Fiqih menyatakan, benar sekali bahwa ada sebagian ulama yang shalih di masa lalu, meski mereka benar-benar ahli dalam hukum agama, namun sama sekali tidak tertarik ketika ditawarkan menjadi pejabat negara, yang dalam hal ini untuk menjadi qadhi (hakim).

Al-Imam As-Suyuthi (w. 911 H) menuliskan dalam salah satu kitabnya yang berjudul "Dzammul Qadha’ wa Taqallud Al-Ahkam", bahwa pernah suatu ketika Khalifah Al-Manshur dari Khilafah Bani Abasiyah memanggil para ulama dan orang shalih untuk menjadi hakim. Alih-alih menerima tawaran jabatan sebagai qadhi, ternyata mereka "kompak" menolak.

Sufyan Ats-Tsauri yang juga ulama besar malah melarikan diri meninggalkan Kota Baghdad demi sekadar menghindari jabatan itu.

Jika tugas hakim memang berat, bagaimana jadinya bila seorang hakim yang juga berkedudukan sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) dinyatakan melakukan pelanggaran berat?

Dari Abdullah bin Abi Aufa, dia berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya Allâh bersama hakim selama dia tidak menyimpang. Jika dia menyimpang Allâh meninggalkannya, dan syaitanpun menemaninya.” (HR. Tirmizi, no. 1330)

Sebagian ulama berpendapat, banyak hakim masuk neraka karena penyimpangannya atau karena kebodohannya. Oleh karena inilah perbuatan hakim yang membuat keputusan menyimpang dari kebenaran merupakan dosa besar.

Meski tergolong dosa besar, di tanah air ini sanksinya hanya diberhentikan sebagai Ketua MK dan tetap menjadi Hakim Konstitusi. 

Persoalannya, kendati masih menjadi Hakim MK, secara moril Hakim Anwar Usman akan tetap menerima beban berat, bahkan sampai dia menjalani masa-masa purna tugas.

Lalu, masihkah pantas, patut dan layak menyebutkan “Hakim yang Mulia” terhadap Hakim MK Anwar Usman saat menangani suatu perkara?

Jangan Sebut Lagi "Yang Mulia” kepada Hakim

Mantan Ketua Mahkamah Agung Harifin Tumpa  merasa risih dengan ungkapan “Yang Mulia” pada hakim. Makanya, ia menyurati Mahkamah Agung beberapa waktu lalu agar menghentikan ungkapan itu.  

Ia punya alasan karena sebelumnya sudah melakukan penelitian-penelitian dan tidak menemukan dasar hukum yang mewajibkan seorang saksi, tersangka, jaksa atau pengacara untuk memanggil hakim dengan sebutan “Yang Mulia” dalam persidangan. 

Dia menambahkan, penelitian dilakukannya bersama anggota Kerukunan Keluarga Purnabakti Hakim Agung (KKPHA) dan Persatuan Hakim Indonesia (Perpahi). Dari sejumlah pertimbangan yang diajukan, yang paling menohok adalah banyak hakim dianggap tidak mencerminkan kemuliaan atas perbuatan yang mereka lakukan.

Menurutnya, seyogianya sebutan/sapaan bagi hakim disamakan seperti halnya presiden dan para nenteri, yakni “Yang Terhormat". *

Oleh: Affan Bey Hutasuhut *)

*) Penulis adalah jurnalis Majalah TEMPO 1987-1994


Share:
Komentar

Berita Terkini

 
Desain: indotema.com