Dari Ladang ke Meja: Menjahit Kembali Jaringan Pangan Lokal

Editor: AgioDeli.id author photo

Shandy Hadrianus Saragi, S.E (Ketua Bidang Partisipasi Pembangunan Daerah HMI Cabang Deli Serdang)


AgioDeli.id Kabut pagi mengurai embun di hamparan sawah Sumatera Utara, dan petani mulai menyapa pucuk-pucuk padi yang menguning. Sekilas, negeri ini tampak melimpah pangannya.


Data BPS mencatat ada sekitar 1,43 juta petani pengguna lahan di Sumut pada tahun 2023. Pada tahun 2022 produksi padi di Sumut melimpah, tercatat petani memanen sekitar 2,09 juta ton gabah kering giling (GKG), naik 4,2% dari tahun sebelumnya. Meski pada 2023 kembali sedikit menurun menjadi 2,087 juta ton. Angka itu setara dengan hampir 1,2 juta ton beras yang dihasilkan pada tahun 2023. 


Namun, melimpahnya produksi di ladang ternyata belum menjamin pangan sampai ke meja secara baik. Rantai pasokan lokal yang terbelah-belah harus “dijahit ulang” agar petani dan konsumen mendapat manfaat adil. Melimpahnya panen di lapangan justru terjerat oleh masalah distribusi. Pj. Gubernur Sumatera Utara, Hassanudin, saat itu menegaskan bahwa pasokan pangan di Sumut sebenarnya aman menjelang Ramadan 2024, tetapi kendalanya terletak pada panjangnya rantai pasok. Ia mengutip data BPS yang menunjukkan stok beras, daging ayam, dan telur melimpah, sehingga “bukan pasokan yang kurang, melainkan jalur distribusi yang cukup panjang dan tidak efisien”. Artinya, hasil panen yang melimpah di desa belum tentu bisa cepat sampai ke pasar kota atau mensuplai ke daerah lain yang defisit. Untuk sampai ke Pasar banyak lapisan perantara, dimulai dari pengepul desa, pedagang antar daerah, hingga distributor. Sehingga menyebabkan tambahan waktu dan biaya. Pada akhirnya harga di pasar bisa melonjak sementara petani sering kali menerima keuntungan tipis.


Gangguan distribusi bukan hanya soal jalan desa yang rusak atau biaya logistik yang tinggi. Melainkan, distribusi input produksi pun menjadi sandungan. Misalnya, berdasarkan data Dinas Ketahanan Pangan Provinsi Sumatera Utara per April 2025 menunjukkan penyaluran pupuk subsidi sangat rendah: dari total alokasi 224.716 ton urea, baru sekitar 22,60% yang tersalurkan, sedangkan pupuk NPK hanya 23,50%. Hambatan administratif dan rendahnya daya beli petani menyebabkan banyak pupuk tertahan. Akibatnya, lahan tidak terolah optimal walau musim tanam tiba. Dengan pasokan input yang tersendat, kapasitas produksi petani juga tak bisa tumbuh sesuai potensi lahan dan benih unggul.


Selain pupuk, fasilitas penyimpanan dan infrastruktur juga menjadi persoalan. Gudang penyimpanan panen yang terbatas membuat hasil petani harus cepat dijual, dan sering kali saat harga murah. Ditambah lagi, akses jalan yang buruk memperlambat transportasi hasil panen ke pasar. Buruknya kondisi infrastruktur ini turut mengikis efisiensi, sebagai contoh: petani di Kabupaten Tanah Karo dan Kabupaten Pakpak Bharat, bisa mengalami kesulitan menjual jagung atau padi mereka, apalagi jika tidak ada koperasi atau fasilitator lokal untuk membantu menyalurkan hasil panen. Situasi ini membentuk "gap" antara desa penghasil dan konsumen, yang membuat harga di tingkat petani sulit bersaing.


Rantai pasokan yang terputus panjang sangat berdampak luas bagi petani. Ketidakpastian distribusi turut mengurangi pendapatan mereka. Justru para tengkulak setempat lah yang menentukan harga, dan petani kecil sulit memperjuangkan harga terbaik. Meski BPS mencatat kenaikan Nilai Tukar Petani (NTP) di Sumut hingga 130,56 pada Februari 2024 akibat kenaikan harga kelapa sawit atau cabai, namun tidak semua petani menikmati peningkatan penghasilan. Petani padi skala kecil atau hortikultura, misalnya, masih sering bergelut dengan margin sempit karena hasil panen mereka lama terserap pasar atau tertekan biaya logistik tinggi.


Di beberapa daerah, petani muda semakin enggan meneruskan profesi karena beban ongkos produksi dan distribusi yang berat. Di pihak konsumen, panjangnya rantai distribusi menyebabkan harga bahan pokok terkadang tidak stabil. Meski stok beras dan bahan pangan lain cukup, ketidakefisienan distribusi bisa memicu inflasi lokal. Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sumatera Utara bahkan mencatat komoditas seperti beras, daging ayam, dan cabai merah sebagai salah satu penyumbang inflasi pada Februari 2024. Artinya, konsumen kelas bawah merasakan ongkos lebih tinggi untuk kebutuhan pokok. Sekali kenaikan terjadi, masyarakat desa maupun kota menanggung beban yang sama. Apalagi, ketergantungan pada suplai dari luar Sumut (impor beras, sayur, atau bahkan ayam) semakin memperlemah kedaulatan pangan lokal kita jika akses dari luar terganggu.


Dalam hal keberlanjutan, jaringan pangan lokal yang terputus mengancam keragaman pangan dan ketahanan pangan jangka panjang. Sistem yang kuat secara lokal dapat mendorong keberagaman komoditas, pelestarian varietas lokal, serta sistem pertanian lestari. Namun kini, akibat distribusi longgar, banyak petani akhirnya menanam komoditas komersial yang mudah diperjualbelikan dengan tengkulak ketimbang menanam jenis pangan lokal bernilai gizi tinggi. Air sungai dan lahan subur mungkin tersedia, tetapi jika jalur dari ladang ke meja terganggu, potensi itu sulit diwujudkan menjadi kedaulatan pangan yang benar-benar berkelanjutan.


Terdapat beberapa contoh konkret di Sumut menggambarkan masalah dan peluang yang ada. Perum Bulog Kanwil Sumatera Utara pernah mencatat, saat musim panen 2025 pasokan lokal cukup untuk menutup permintaan. Pada April 2025, Bulog Sumut bahkan menghentikan sementara penjualan beras Program Stabilisasi Pangan (SPHP) karena suplai lokal dinilai mencukupi. Walaupun demikian, stok gabah kering panen (GKP) tetap diserap sampai 10.200 ton setara beras pada pertengahan April. Hal ini menunjukkan bahwa banyak petani di Kabupaten Deli Serdang, Serdang Bedagai, Simalungun, dan sekitarnya masih membuka diri menjual hasil panen ke Bulog dengan harga pokok pembelian yang stabil. Momen ini menjadi contoh sinergi antara petani dan lembaga publik untuk memastikan ketersediaan beras. Namun, kolaborasi semacam itu belum merata di seluruh Sumatera Utara dan lebih banyak diinisiasi oleh Pemerintah Daerah ketimbang petani sendiri.


Pada sisi lain, kasus pupuk subsidi di Kabupaten Dairi dan Karo memperlihatkan sisi gelap distribusi masuk. Walau dua kabupaten itu mendapat alokasi pupuk paling besar, penyaluran yang tersendat menyebabkan petani sering kali kehabisan stok saat musim tanam. Seorang sumber salah satu pejabat BPS ldi kabupaten tersebut menegaskan, bahwa kendala administrasi (seperti data petani yang belum terbarukan) dan ekonomi petani menghambat penyerapan penuh pupuk subsidi. Akibatnya, setiap musim tanam ada keraguan apakah lahan sudah terjimati oleh pemupukan atau belum. Kondisi tersebut menggarisbawahi pentingnya memotong rantai distribusi pangan lokal. Sebab pada akhirnya dari ladang ke meja idealnya harus melibatkan sedikit perantara dan saling percaya antara petani, distributor, dan pasar.


Menjahit kembali jaringan pangan lokal di Sumatera Utara artinya membangun kembali rasa saling percaya di antara elemen yang terlibat. Petani butuh kepastian pasar dan harga wajar, konsumen butuh pangan terjangkau dan berkualitas, serta pemerintah ingin menjaga ketahanan pangan regional. Dengan strategi di atas, harapannya adalah padi, sayur, gula aren, dan komoditas lokal lainnya tak terputus di ujung ladang, melainkan mengalir lancar ke meja makan rakyat.


Dari ladang ke meja bukan sekadar slogan, melainkan visi: bahwa setiap butir padi hasil tani di Sumatera Utara punya jalan yang ramah sampai di dapur, mempererat budaya gotong royong dengan mendekatkan petani dan konsumen dalam satu jaringan pangan berkelanjutan.

Penulis: Shandy Hadrianus Saragi, S.E (Ketua Bidang Partisipasi Pembangunan Daerah HMI Cabang Deli Serdang)


Share:
Komentar

Berita Terkini

 
Desain: indotema.com